Senin, 14 Mei 2012

auto news

Sepak Bola untuk Perdamaian


9
Praktek pelatihan di lapangan
Praktek pelatihan di lapangan
 -
Aksi terorisme sudah merambah ke remaja pelajar. Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) mencatat lebih dari 14 persen siswa sekolah membenarkan berbagai aksi pengeboman di Indonesia. Atas fakta itu, lembaga Search for Common Ground (SFCG) menilai perlu untuk menyosialisasikan sikap toleran di sekolah-sekolah, tidak terkecuali di pesantren. SFCG menawarkan cara unik. Mereka datangi sejumlah pesantren, memberikan pelatihan nilai-nilai toleransi, lewat sepak bola. Reporter KBR68H Damar Fery Ardiyan mengunjungi Pesantren Quthrotul Falah, di Lebak, Banten, salah satu lokasi pelatihan Sepak Bola untuk Perdamaian.
Bukan Sekedar Permainan
Usai mengikuti pelajaran dan mengaji di kelas, Ulin Nuha 16 tahun, Ahmad Amin Nuwloh 14 tahun dan belasan temannya bermain sepakbola. Mereka berlari dan mengolah bola di lapangan futsal yang terletak persis di belakang sekolah mereka.
Ulin dan Amin adalah siswa Pesantren Quthrotul Falah, di Cikulur, Banten.
Saat istirahat, dengan air dari ember dan gayung yang sama, mereka melepas dahaga dan bercerita soal sepak bola. Olahraga ini merupakan menu wajib usai mengikuti pelajaran di pesantren, ujar Ahmad Amin Nuwloh.
“Suka main bola. Itu olahraga yang menyenangkan. Hidup tanpa main bola kayanya agak kurang, karena olahraga, melatih fisik. Setiap minggu kadang-kadang setiap hari.”
Abdul Aziz (ASA), berbaju merah, memberikan materi di lapangan
Abdul Aziz (ASA), berbaju merah, memberikan materi di lapangan
Sepakbola menjadi permainan pengisi waktu luang sekaligus pelepas penat dari kegiatan sekolah dan pesantren, sambung Ulin Nuha.
“Mungkin lebih senang saja gitu. Biasanya di sini agak pusing, banyak pelajaran, apa gitu. Intinya lebih fresh saja pada otak kita.”
Namun, sepakbola ya hanya sepakbola. Tak lebih.
“Saya kurang tahu mendalam yang kaya gitu. Ia, main bola saja. Belum tahu isinya. Ternyata di dalam sepakbola itu banyak sekali. Bukan hanya main bola saja.”
Yang dimaksud Amin adalah nilai lebih dari olahraga itu yang dikenalkan oleh lembaga Search for Common Ground SCG bersama Akademi Sepakbola Asia ASA.
Dua lembaga ini mengunjungi pesantrennya untuk menggelar pelatihan bertajuk Sepakbola untuk Perdamaian. Dari sini Ulin mengetahui kalau sepakbola bukan hanya sekedar permainan.
“Biasanya kalau latihan tidak begitu, biasanya cuma lari terus passing. Ini mah latihan dulu, lebih seru. Asik saja sama teman-teman. Ada pengalaman baru.”
Ada 10 guru olahraga yang melatih Amin, Ulin dan belasan temannya. Ke-10 guru itu juga telah mengikuti program Sepakbola untuk Perdamaian. Mereka berasal dari berbagai sekolah di Kabupaten Lebak.
Diantaranya Wardoyo, guru olahraga SMA Negeri 1 Cikulur dan Razali Hamzah, guru olahraga di MTS Ar Ribathiyah.
Pelatihan di ruang kelas
Pelatihan di ruang kelas
“Tertarik, karena saya sendiri mengajarnya di bidang olahraga. Jadi ingin meningkatkan kualitas olahraga, terutama sepakbola. Karena saya di kecamatan memegang sepakbola.”
“Saya siap tiga hari, saya menyatakan siap tiga hari di sini.”
Penanggungjawab pelatihan dari Akademi Sepakbola Asia Abdul Aziz mengatakan, sepakbola adalah medium yang efektif untuk meredam konflik. Salah satu materi yang diberikan adalah relay race.
“Kita ingin mengenal sebuah konflik. Pertama kita sebut dengan relay race yang berarti menyusun sebuah kata untuk menjadi sebuah kalimat. Kalimatnya itu bertujuan untuk negosiasi menuju perdamaian. Karena kalau kita mempunyai konflik dan tidak bernegosiasi bisa menjadi konflik, pertikaian. Oleh karena itu, kita mengajarkan kepada mereka mengenal, utamanya kalau mendapatkan sebuah konflik harus bernegosiasi atau bermusyawarah agar tidak terjadi permusuhan.”
Selain relay race, Aziz juga mengajarkan simulasi lain yang diberi nama: check in, chek out.
“Check in, check out ini bertujuan life skill-nya adalah menerima perbedaan suku, budaya dan bangsa di antara lainnya. Dalam sepakbola ada satu sentuhan, dua dan tiga sentuhan. Di mana satu kelompok bermain dengan satu sentuhan dan kelompok lainnya dua sentuhan dan tiga sentuhan. Kemudian pada saat saya bilang pindah, maka satu orang di tiap timnya itu, di tiap posnya itu harus pindah satu orang ke pos lain. Maka, nanti mereka ada di satu posnya itu ada yang satu sentuhan, dua dan tiga sentuhan dan semuanya itu berbeda-beda tetapi dalam satu pos. Di situ kita mengajarkan, di sini kita menerima orang lain, dari mana pun dia, suku, budaya, agama manapun dia, kita tetap menerima dia dengan baik.”
Quthrotul Falah adalah pesantren ketiga dari 10 pesantren yang sudah disambangi SCG dan ASA. Sebelumnya pelatihan digelar di Tanggerang, Cirebon, Solo dan Makassar.
PJ Football for Peace, Maghfiroh Hijroatul memberikan materi di 
dalam kelas
PJ Football for Peace, Maghfiroh Hijroatul memberikan materi di dalam kelas
Penanggung jawab program dari Common Ground Maghfiroh Hijroatul mengatakan, daerah-daerah itu dipilih karena beresiko atau rawan dengan radikalisme dan terorisme.
“Kita memilih beberapa pesantren dan akhirnya kita menjatuhkan ke 10 pesantren dengan beberapa kriteria. Pastinya pesantren itu berdekatan dengan daerah yang berdekatan atau beresiko, yang rawan radikalisme, terorisme. Umpamanya Solo. Kita memilih Solo karena berdekatan dengan pesantren lain yang menyajikan, apa ya... saya agak sungkan mengatakannya, produknya teroris. Kemudian di Cirebon, kasus kemarin pengeboman itu.”
Sepakbola dipilih karena selain populer, olahraga ini dianggap sebagai media yang efektif untuk mengatasi konflik dan membangun perdamaian di pesantren.
Mengenal Konflik untuk Meredamnya
Maghfiroh Hijroatul dari Common Ground sedang mencairkan suasana kelas pada pertemuan pertama. Ia adalah penangung jawab program Sepakbola untuk Perdamaian. Di depan kelas, Firoh bertanya, ‘Apa itu konflik?’
Ia pun membacakan jawaban para peserta.
Sebagian besar peserta mengidentifikasi konflik sebagai perbedaan pendapat, sikap keras kepala yang berujung pada tindakan destruktif, seperti adu jotos.
Konflik tidak harus destruktif atau merusak. Firoh mengatakan, konflik juga memiliki sisi konstruktif atau membangun, kalau tidak menonjolkan kekerasan dalam menyelesaikan masalah.
“Bagaimana proses menyelesaikan konflik adalah alami dan ada di sekitar kita. Konflik itu tidak hanya kekerasan itu yang paling penting kita utamakan. Kita membongkar habis asumsi yang ada sekarang ini. Kalau di dua pesantren yang kemarin, selalu kalau ditanya tentang konflik yang muncul itu destruktif, yang negatif. Konflik itu berantem, kekerasan, darah.
Pengalaman pelatihan di Makassar menunjukan masih ada asumsi yang keliru soal konflik, lanjut Firoh.
“Ada pak Ilham. Hari pertama dia memakai kaos yang (bertuliskan -red) Jihad the Only Solution dengan gambar pistol dan pedang dan kemudian beliau menggunakan celana tcingkrang, berjenggot. Lagi-lagi, padahal saya sudah mengerti teorinya, saya tidak boleh berasumsi dulu dan beranggapan negatif. Bisa-bisa kontra produktif, bisa-bisa tidak berhasil. Ternyata ketika kita buka, menyosialisasikan latar belakang pelatihan dan sebagainya. Pertanyaan kritis Pak Ilham adalah mengapa harus pesantren, pesantren kan tidak ada konflik. Saya sudah deg-degan, waduh apakah ini.”
Firoh menjawab pertanyaan itu dengan hati-hati.
“Banyak orang bilang, mengapa pesantren, pesantren memang sumber teror. Kita tidak menganggap itu. Kita ingin menyebarluaskan benih-benih toleransi, perdamaian ke semua penjuru dan elemen masyarakat. Pesantren kan termasuk komunitas terbesar di Indonesia.”
Di pinggir lapangan, Maghfiroh menjelaskan peran sepakbola sebagai peredam potensi konflik. Serta peran penting ustadz, kiai, dan guru pesantren untuk turut menebar benih toleransi.
“Dengan ini kita ingin menekan eksekusi kekerasan terhadap penyelesaian konflik. Jadi mungkin kalau di Banten ini terkait dengan kasus Ahmadiyah kemarin. Kita berharap dengan ini santri, kyai juga bisa lebih tidak reaksioner dalam menghadapi perbedaan, dalam menghadapi konflik.”
Pengasuh Pondok Pesantren Quthrotul Falah, Achmad Syatibi Hambali mengapresiasi kegiatan ini.
“Sangat bagus. Terutama untuk perdamaian. Artinya di mana sekarang banyak hal, yang kadang-kadang dengan persoalan sedikit jadi persoalan. Dari hal kecil, jadi persoalan. Dengan adanya (sepakbola untuk –red) perdamiaan, ini harus digalakan. Baik itu di komunitas muslim, maupun dengan yang lainnya harus dijaga.”
Achmad Syatibi Hambali yang juga Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Lebak ini berharap program semacam ini bisa terus dilakukan.
“Itu sangat penting. Kita intinya harus sama-sama saling menghargai dengan yang lain, toleran. Jadi kalau kita tidak dididik dengan toleransi ya kadang-kadang orang itu ingin menang sendiri. Kita terapkan. Artinya kita harus mau berbeda pendapat dan kita harus menghargai pendapat orang lain. (Tanpa adu jotos?) Tanpa adu jotos, tanpa ada aksi kekerasan. Yang rugi kita sendiri. Tujuan tidak bakal tercapai.”
Penanggungjawab Sepakbola untuk Perdamaian Maghfiroh Hijroatul sadar sosialisasi materi toleransi ini tidak mudah untuk dilakukan. Namun, ia optimistis program ini akan mencapai target.
“Saya, kami dari Common Ground sepertinya sangat optimis bahwa ini lebih efektif untuk mencapai tujuan kami. Untuk mempromosikan nilai-nilai toleransi dan transformasi konflik. ”
Peserta pelatihan Agus Faiz Awaludin siap meneruskan materi toleransi kepada peserta didik yang ia bimbing di pesantren Quthrotul Falah.
“Kalau di pondok saya mengajar kitab kuning. Kalau di sekolah saya mengajar eksak, matematika dan fisika. (di tengah rutinitas kamu mengajar apakah akan menyisipkan poin yang didapatkan dari pelatihan tadi?) Pasti saya sisipkan, bisa diterapkan dalam mata pelajaran saya, mungkin bisa saja.”
Belajar toleransi dari sepak bola, membangun perdamaian untuk Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon masukannya ya..........!!!!!!!!!!!!!!!